LAPORAN
PENELITIN TINDAKAN KELAS
PENERAPAN MODEL PENGAJARAN TERARAH MELALUI
KEGIATAN MEMBACA BERSAMA UNTUK MENINGKATKAN
KETERAMPILAN MENULIS MATA PELAJARAN BAHASA
INDONESIA PADA SISWA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam pengajaran Bahasa Indonesia, ada tiga aspek yang perlu diperhatikan, yaitu aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek psikomotor. Ketiga aspek itu berturut-turut menyangkut ilmu pengetahuan, perasaan, dan keterampilan atau kegiatan berbahasa. Ketiga aspek tersebut harus berimbang agar tujuan pengajaran bahasa yang sebenarnya dapat dicapai. Kalau pengajaran bahasa terlalu banyak mengotak-atik segi gramatikal saja (teori), murid akan tahu tentang aturan bahasa, tetapi belum tentu dia dapat menerapkannya dalam tuturan maupun tulisan dengan baik.
Bahasa Indonesia erat kaitannya dengan guru bahasa Indonesia, yakni orang-orang yang tugasnya setiap hari membina pelajaran bahasa Indonesia. Dia adalah orang yang merasa bertanggung jawab akan perkembangan bahasa Indonesia. Dia juga yang akan selalu dituding oleh masyarakat bila hasil pengajaran bahasa Indonesia di sekolah tidak memuaskan. Berhasil atau tidaknya pengajaran bahasa Indonesia memang diantaranya ditentukan oleh faktor guru, disamping faktor-faktor lainya, seperti faktor murid, metode pembelajaran, kurikulum (termasuk silabus), bahan pengajaran dan buku, serta yang tidak kalah pentingnya ialah perpustakaan sekolah dengan disertai pengelolaan yang memadai
Sekarang ini pengajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah, dari Taman Kanak-kanak sampai SLTA, bahkan sampai perguruan tinggi.
Menurut Mulyono Sumardi, ketua Himpunan Pembina Bahasa Indonesia menyatakan bahwa, “Dalam dunia Pendidikan, keterampilan berbahasa Indonesia perlu mendapatkan tekanan yang lebih banyak lagi, mengingat kemampuan berbahasa Indonesia di kalangan pelajar ini juga disebabkan oleh kualitas guru, dari pihak lain munculnya anggapan bahwa setiap orang Indonesia pasti bisa berbahasa Indonesia. Anggapan ini justru ikut merunyamkan dunia kebahasaan Indonesia itu sendiri. (JS. Badudu. 1988: 74).
Sebenarnya hal paling dasar yang menyebabkan kemampuan berbahasa Indonesia siswa rendah terletak pada ketrampilan baca dan tulis yang dirasa masih kurang cukup. Padahal ketrampilan membaca dan menulis merupakan modal utama bagi siswa dalam mengikuti pelajaran. Dengan bekal kemampuan baca tulis, murid dapat mempelajari ilmu lain; dapat mengkomunikasikan gagasannya; dan dapat mengekspresikan dirinya. Kegagalan dalam penguasaan keterampilan ini akan mengakibatkan masalah yang fatal, baik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, maupun untuk menjalani kehidupan sosial kemasyarakatan.
Sudah bukan rahasia lagi dan seolah-olah sudah menajadi asumsi umum bahwa hasil pengajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah dari sekolah dasar sampai SLTA kurang memuaskan. Untuk itu harus ada langkah konkret untuk mengatasi persoalan tersebut. Di awali dari lembaga sekolah dasar, pembenahan metode pembelajaran bahasa Indonesia perlu dikaji ulang. Pelajaran membaca yang mula-mula hanya sekedar membunyikan huruf-huruf semata hendaknya mulai mengarah kepada memberi makna pada tulisan. Artinya dengan membaca anak juga berpikir tentang isi bacaan.
Oleh karena itu pengajaran membaca harus selalu bertolak dari konteks dan penggunaan bahasa yang dapat diterima siswa, dan bukan dengan memberikan kata-kata tanpa konteks dan pengertian. Demikian juga dengan mengajarkan menulis, kritik terhadap cara mengajarkan keterampilan menulis (hand-writing) dengan jalan menyalin, mencontoh dan sebagainya, dikemukakan oleh Goodman dan kawan-kawan (1986) sebagai upaya yang sia-sia saja. Mereka berpendapat bahwa pengajaran literasi bukan hanya belajar membunyikan dan menuliskan huruf-huruf dengan cara merangkai-rangkainya melainkan upaya mengembangkan kemampuan literasi (baca-tulis) yang berdasar kepada kemampuan berbahasa.
Menurut para ahli literasi , pengembangan kemampuan literasi berarti mengembangkan kognitif anak yang berhubungan dengan kemampuan berbahasa. Dalam hal ini baca-tulis hanya sebagai sarana anak dalam mengemukakan perasaan dan pikiran yang telah berkembang seiring dengan perkembangan bahasa mereka. Dengan kata lain belajar membaca dan menulis (dalam arti kemampuan mekanik) merupakan konsekuensi dari pengembangan kemampuan berbahasa. Selanjutnya, pemaknaan terhadap bacaan dan tulisan (construction of meaning) yang ada di sekeliling anak merupakan hasil dari sosialisasi anak dengan lingkungannya.
Di lain pihak, peneliti mengamati bahwa pengembangan literasi yang dilaksanakan di sekolah-sekolah selama ini lebih berarti pada mengajarkan baca-tulis dengan pengertian mengajarkan sistem/mekanisme atau cara membunyikan, menuliskan dan merangkai huruf menjadi kalimat yang diberikan oleh guru atau buku pelajaran membaca/menulis. Dengan demikian kebebasan anak mengembangkan kemampuan berbahasa melalui bacaan yang ada dan mengemukakan perasaan dan pikiran mereka melalui tulisan, sangat terbatas.
Di negara maju, kelas-kelas rendah dan pendidikan pra-sekolah seperti misalnya di Eropa, Amerika dan Australia telah menerapkan cara untuk meningkatkan keterampilan membaca dan menulis siswa dengan cara membacakan sebuah buku cerita kepada anak. Kegiatan membacakan cerita diyakini dapat mengembangkan kemampuan berbahasa, dan mengajarkan baca-tulis. Karena kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan sebuah Big Book (buku besar). Big Book merupakan buku cerita yang berkarakteristik khusus yang dibesarkan, baik teks maupun gambarnya, untuk memungkinkan terjadinya kegiatan membaca bersama (shared reading) antara guru dan murid. Buku ini mempunyai karakteristik khusus seperti penuh dengan warna-warni, gambar yang menarik, mempunyai kata yang dapat diulang-ulang, mempunyai plot yang mudah ditebak, dan memiliki pola teks yang berirama untuk dapat dinyanyikan.
Penelitian berasumsi bila pengajaran membaca dan menulis dapat dilakukan dalam suasana intim seperti dalam membacakan cerita menjelang tidur tersebut, yang ditunjang oleh suasana kondusif, maka kegagalan pengajaran membaca, serta jumlah anak yang buta aksara, akan teratasi. Hal ini mempertimbangkan bahwa pengajaran membaca tidak hanya dapat dilakukan di sekolah saja, namun dapat juga dilakukan di rumah, oleh para orang tua dalam suasana yang menyenangkan dan akrab. Dengan demikian, strategi ini dapat menjadi suatu alternatif pengajaran baca-tulis di sekolah dasar.
Untuk itu, peneliti melakukan penelitian tindakan kelas (classroom action research) terhadap penerapan strategi Big Book yang berlandaskan akar budaya Indonesia; serta menciptakan Big Book yang sesuai dengan perkembangan mental murid (developmentally appropriate practice) dan materi cerita budaya Indonesia.
Berdasarkan paparan tersebut diatas maka peneliti ingin mencoba melakukan penelitian dengan judul “Penerapan Model Pengajaran Terarah Melalui Kegiatan Membaca Bersama Untuk Meningkatkan Ketrampilan Menulis Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Pada Siswa Kelas IV SDN Lampah II Kecamatan Kedamean Kabupatan Gresik”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan suatu masalah sebagai berikut:
1. Jenis-jenis kegiatan apakah yang dapat dilakukan guru dalam pelaksanaan model pengajaran terarah melalui kegiatan membaca bersama ?
2. Bagaimana menerapkan model pengajaran terarah melalui kegiatan membaca bersama di sekolah dasar ?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui peningkatan prestasi belajar siswa setelah diterapkannya metode pengajaran terarah pada siswa kelas IV SDN Lampah II Kecamatan Kedamean Kabupatan Gresik
2. Mengetahui pengaruh motivasi belajar siswa setelah diterapkan metode pengajaran terarah dalam belajar bahasa Indonesia pada siswa kelas IV SDN LampahII Kecamatan Kedamean Kabupatan Gresik
D. Kegunaan Penelitian
Penelitain ini dapat memberikan manfaat bagi:
1. Sekolah sebagai penentu kebijakan dalam upaya meningkatkan prestasi belajar siswa khususnya pada mata pelajaran bahasa Indonesia.
2. Guru, sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan metode pembelajaran yang dapat memberikan manfaat bagi siswa.
3. Siswa, dapat meningkatkan motivasi belajar dan melatih sikap sosial untuk saling peduli terhadap keberhasilan siswa lain dalam mencapai tujuan belajar.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Belajar dan Pembelajaran
Istilah belajar dan pembelajaran yang kita jumpai dalam kepustakaan asing adalah learning dan instruction. Istilah learning mengandung pengetian proses perubahan yang relatif tetap dalam perilaku individu sebagai hasil dari pengalaman, (Fortuna, 1981: 147). Istilah instruction mengandung pengertian proses yang terpusat pada tujuan (goal directed teaching process) yang dalam banyak hal dapat direncanakan sebelumnya (pree-planed). Proses belajar yang terjadi adalah proses pembelajaran, yakni proses membuat orang lain aktif melakukan proses belajar sesuai dengan rancangan. (Romiszowki, 1981: 4).
Pembelajaran merupakan sarana untuk memungkinkan terjadinya proses belajar dalam arti perubahan perilaku individu melalui proses belajar-mengajar. Namun harus diberi catatan bahwa tidak semua proses belajar-mengajar terjadi karena adanya proses pembelajaran atau kegiatan belajar-mengajar, seperti belajar dari pengalaman sendiri, (Udin Sarifuddin, 1995: 3).
Belajar dapat pula diartikan sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antar individu denga lingkungannya. Burton mengatakan “Learning is change in the individual due to instruction of that individual and his environment, which fells a need and makes him more capable of dealing undauntedly with his environment. (Burton: The guidance of learning activities, 1994). Dalam pengertian ini terdapat kata “change” (perubahan), yang berarti bahwa seseorang setelah mengalami proses pengetahuannya, keterampilannya, maupun pada aspek sikapnya, misalnya dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari ragu-ragu menjadi yakin, dari tidak sopan menjadi sopan, dan sebagainya. Kriteria keberhasilan dalam belajar diantaranya ditandai dengan terjadinya perubahan tingkah laku pada diri individu yang belajar.
Pembelajaran identik sekali dengan proses belajar-mengajar. Proses dalam pengertiannya disini merupakan interaksi semua komponen atau unsur yang terdapat belajar-mengajar, yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan (interindependent), dalam ikatan untuk mencapai tujuan. Yang dimaksud komponen atau unsur belajar-mengajar antara lain tujuan istruksional, yang hendak dicapai dalam pembelajaran, metode mengajar, alat peraga pengajaran, dan evaluasi sebagai alat ukur tercapai tidaknya tujuan pembelajaran.
Dalam satu kali proses pembelajaran yang pertama dilakukan adalah merumuskan tujuan pembelajaran khusus (TPK) yang dijabaran dari tujuan pembelajaran umum (TPU), setelah itu langkah selanjutnya ialah menentukan materi pelajaran yang sesuai dengan tujuan tersebut. Selanjutnya menentukan metode mengajar yang merupakan wahana penghubung materi pelajaran sehingga dapat diterima dan menjadi milik siswa, kemudian menentukan alat peraga sebagai penunjang tercapainya tujuan pembelajaran. Langkah terakhir yang harus dilakukan adalah menentukan alat evaluasi sebagai pengukur tercapai-tidaknya tujuan yang hasilnya dapat dijadikan sebagai umpan balik (feed back) bagi guru dalam meningkatkan kualitas mengajar maupun kualitas belajar siswa.
Dari uraian ini jelas bahwa kegiatan belajar-mengajar atau yang disebut juga pembelajaran merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai komponen yang saling berkaitan satu sama lain, dan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.oleh karena itu, guru dituntui melikiki kemampuan mengintegrasikan komponen-komponen tersebut dalam kegiatan belajar-mengajar atau proses pembelajaran. (Udin Sarifudin, 1995: 3).
B. Memperkenalkan Belajar Aktif
SELANJUTNYA SILAHKAN HUBUNGI KONTAK KAMI
PTL B.INDO PENERAPAN MODEL PENGAJARAN TERARAH MELALUI KEGIATAN MEMBACA BERSAMA
PTK IPA PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH
PENELITIAN TINDAKAN KELAS
MODEL PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH DAPAT MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR MATA PELAJARAN IPA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Proses pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah dasar seharusnya berorientasi pada siswa karena siswalah yang mengalami proses belajar melalui berbagai sumber belajar yuang dipakai oleh guru. Kemampuan guru dalam mengelolah berbagai sumber belajar inilah yang akan menentukan cara berpikir dalam kehidupan sehari-hari siswa sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa pada akhirnya siswa akan kembali ke kehidupan yang lebih luas baik di keluarga maupun masyarakat (Sanjaya, 2006:212).
Pembelajaran ilmu pengetahuan alam di sekolah dasar saharusnya menjadi wadah untuk mempersiapkan suswa agar dapat hidup di masyarakat yang lebih luas dengan baik dan benar, sehingga sekolah seharusnya tidak hanya menjadikan siswa itu hanya sekedar mencatat kemudian menghafal materi pelajaran tetapi harus melatih siswa dalam memecahkan masalah yang dihadapi ketika menemukan ilmu di sekolah atas kesenjangan yang sedang dihadapi sehingga melalui berbagai tahapan yang dialami terhadap masalah dengan membuka kesempatan untuk memupuk rasa ingin tahu atas berbagai fenomena alam berdasarkan fakta dengan membantu mengembangkan kemampuan bertanya sehingga menemukan cirri-ciri esensial dari situasi kehidupan yang berbeda dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian cara berpikir siswa akan berkembang menjadi kritis, obyektif, dan kreatif dalam menghadapi berbagai kesenjangan yang terjadi.
Pembelajaran IPA sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri dan ilmiah agar dapat menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja, dan bersikap ilmiah serta mampu mengkomunikasikannya sebagai aspek yang penting dalam mencapai keterampilan kecakapan hidup, oleh karena itu pembelajaran IPA di SD menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara lansung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada kelas IV SDN Lampah II Kecamatan Kedamean Kabupaten Gresik pada tanggal 5 Maret 2008 dan 10 Maret 2008, serta hasil wawancara pada tanggal 19 Maret 2008 terhadap guru kelas IV didapatkan hasil bahwa proses pembelajaran IPA dengan materi energi gerak masih mengalami kendala terhadap tingkat pemahaman konsep materi sehinga hasil belajar siswa belum maksimal.
IPA sebagai pemupukan sikap ilmiah seharusnya tidak hanya sekedar memahami konsep saja karena itu pemilihan berbagai strategi yang akan digunakan dalam proses pembelajarn akan turut menentukan tingkat pemahaman siswa terhadap materi yang akan dipelajari.
Berdasarkan fakta tersebut maka pembelajaran berdasarkan masalah (PBM) menjadi salah satu cara mengatasi masalah tersebut, menurut Arends (1997) dalam Trianto (2007:68) Pembelajarn berdasarkan masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran dimana siswa mengerjakan masalah yang autentik dengan maksud menyusun pengertian mereka sendiri dengan mengembangkan inkuiri melalui proses berpikir sehingga dapat mengembangkan kemandirian dan rasa percaya diri yang tinggi. Masalah autentik dalam kehidupan sehari-hari akan menjadi sumber belajar siswa dengan harapan agar siswa tidak mudah putus asa dalam menghadapi masalah bahkan sudah siap menghadapi masalah yang serupa di masyarakat.
Pembelajaran berdasarkan masalah akan membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan berpikir untuk memecahkan masalah yang dihadapi sehingga pola berpikir siswa akan terus meningkat, memahami peran orang dewasa atas bebagai kasus yang akan dikaji akan membantu siswa dalam memahami karakteristik orang lain ketika menghadapi masalah. Pembelajaran berdasarkan masalah memberikan kebebasan seluas-lusnya kepada siswa dalam menetukan alternatif pemecahan masalah berdasarkan berbagai sumber ilmiah yang ditemukan berdasarkan hipotesa masalah yang ada, sehingga tidak menutup kemungkinan siswa akan selalu berusaha memecahkan masalah yang dikaji.
1.2 Rumusan masalah
Secara umum permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana cara menerapkan model pembelajaran berdasarkan masalah pada mata pelajaran IPA di kelas IV SD?
Masalah umum tersebut kemudian dijabarkan lebih terperinci menjadi masalah secara khusus sebagai berikut :
1. Apakah dengan menerapkan model pembelajarn berdasarkan masalah pada proses pembelajaran IPA dapat meningkatkan prestasi belajar siswa?
2. Bagamana cara mengatasi hambatan yang dialami dalam menerapkan model pembelajaran berdasarkan masalah?
1.3 Tujuan penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang ada maka dapat dijabarkan tujuan penelitian yang ingin dicapai sebagai berikut:
1. Tujuan umum
Mendeskripsikan cara menerapkan model pembelajaran berdasarkan masalah dalam proses pembelajarn pada mata pelajaran IPA di kelas IV SD.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui cara menerapkan model pembelajaran berdasarkan masalah
pada mata pelajaran IPA.
b. Mengetahui dan mengatasi berbagai kendala yang ada dalam penerapan model pembelajaran berdasarkan masalah.
c. Meningkatkan keterampilan berpikir siswa dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
d. Meningkatkan prestasi siswa karena masalah yang dikaji merupakan masalah autentik dalam kehidupan sehari-hari.
1.4 Manfaat penelitian
Berdasarkan judul penelitian yang diambil oleh peneliti maka manfaat yang diperoleh sebagai berikut:
1. Guru.
a. Memotivasi siswa agar lebih kreatif dalam memanfaatkan masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari sebagai sumber belajar.
b. Menambahkan wawasan guru tentang model pembelajaran berdasarkan masalah pada mata pelajaran IPA di kelas IV SD.
2. Sekolah .
a. Sebagai tolak ukur dalam meningkatkan mutu kreatifitas siswa melalui pembelajaran inovatif.
b. Meningkatkan hasil belajar melalui pembelajaran yang menyenangkan.
3. Peneliti.
a. Menambah pengalaman tentang cara penerapan model pembelajaran berdasarkan masalah.
b. Menambah pemahaman tentang cara penerapan model pembelajaran berdasarakan masalah pada mata pelajaran IPA.
1.5 Batasan masalah
Karena keterbatan yang dimiliki oleh peneliti dan banyaknya model pembelajaran yang dikembangkan oleh ahli pendidikan, maka peneliti membatasi ruang lingkup penelitian sebagai berikut:
1. Penelitian hanya dilakukan pada siswa kelas IV SDN Lampah II kecamatan Kedamean
2. Penelitian hanya dibatasi pada penerapan model pembelajaran berdasarkan masalah.
3. Penelitian hanya dibatasi pada mata pelajara IPA kelas IV dengan materi pokok penggunaan energi alternatif dalam kehidupan sehari-hari.
4. Penelitian hanya dibatasi pada hasil belajar siswa.
1.6 Hipotesis
Tindakan
Berdasarkan kerangka teoritik yang ada, maka hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah : “ Dengan menerapkan model pembelajaran berdasarkan masalah pada materi ajar penggunaan konsep energi alternatif melalui energi gerak (angin) dapat meningkatkan hasil belajar siswa di kelas IV SDN Lampah II Kecamatan Kedamean Kabupaten Gresik “.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah
2.1.1 Pengertian pembelajaran berdasarkan masalah.
Menurut Dewey (dalam Ibrahim 2005:19) belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara stimulus dan respon, sehingga merupakan hubungan antara dua arah yaitu belajar dan lingkungan.
Pengajaran berdasarkan masalah merupakan pendekatan yang efektif untuk pengajaran proses berpikir tingkat tinggi (Ratumanan, dalam Ibrahim 2005:20).
Menurut Arends dalam Trianto (2005:66) pengajaran berdasarkan masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran dimana siswa mengerjakan permasalahan autentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir tingkat tinggi, mengembangkan kepribadian yang mandiri dan percaya diri.
Berdasarkan pengertian yang dipaparkan , pembelajarn berdasarkan masalah adalah pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah autentik sebagai sumber belajar sehingga peserta didik dilatih berpikir tingkat tinggi dan mengembangkan kepribadian lewat masalah dalam kehidupan sehari-hari.
2.1.2 Landasan Teoritik dan Empirik
A. Landasan teori
a. Psikologi Kognitif
Para ahli Psikologi Kognitif berpendapat bahwa seharusnya pembelajaran memusatkan pada proses berpikir bukan hanya sekedar perolehan hasil kognitif saja tetapi lebih pada keterampilan dalam memecahkan masalah sehingga pola berpikir siswa harus berkembang dari waktu ke waktu.
b. Kelas Demokrasi
Dipelopori oleh Jhon Dewey mengemukakan bahwa sekolah seharusnya mencerminkan masyarakat yang lebih besar dari kelas. Kelas merupakan laboratorium untuk pemecahan masalah yang ada dikehidupan nyata. Dewey menyarankan agar guru memberi dorongan kepada siswa terlibat dalam proyek atau tugas yang berorientasi pada masalah dan membantu mereka dalam penyelidikan masalah. Pandangan Dewey ini kemudian diperkuat oleh Kill Patriek (1918, dalam Ibrahim 2005) yang mengemukakan bahwa pembelajaran di sekolah yang seharusnya bermanfaat dan tidak abstrak dan oleh Tols To’i (1967 dalam Ibrahim 2005) yang berpendapat bahwa seharusnya guru atau pengajar dituntut menangkap dan memahami nilai-nilai masyarakat dimana pembelajaran berlangsung.
B. Landasan empirik selanjutnya silahkan hubungi kontak kami